Baru-baru ini, Bapa Suci Fransiskus kembali mengeluarkan pernyataan tentang posisi Gereja atas pernikahan, terutama dalam hubungannya terkait umat beriman yang telah mengikatkan diri dalam Sakramen Pernikahan, namun kelak memilih perceraian.
Sebagai referensi dari tulisan ini, berikut saya sertakan terjemahan pribadi dari artikel yang dipublikasikan pada situs Radio Vatikan versi Bahasa Inggris (Anda dapat melihat versi aslinya di sini)
Paus: Umat beriman yang telah bercerai dan menikah kembali tidak diekskomunikasi
(Radio Vatikan) Paus Fransiskus melanjutkan sesi Audiensi Umum beliau pada hari Rabu, sebagai kelanjutan dari rangkaian Audiensi Umum selama liburan musim panas. Dalam katekesisnya, Bapa Suci melanjutkan pengajarannya atas keluarga, dengan merenungkan situasi pasangan-pasangan yang telah bercerai dan bersatu kembali dalam suatu ikatan kedua.
"Gereja mengetahui dengan baik," beliau berkata, "bahwa situasi - situasi seperti ini bertentangan dengan Sakramen Kristiani." Namun, beliau melanjutkan, bahwa Gereja selayaknya seorang Ibu, senantiasa memperhatikan kebaikan dan keselamatan seluruh anak-anaknya. Bapa Suci mengatakan bahwa penting kiranya bagi Gereja untuk mengembangkan dan memelihara suatu sambutan yang penuh kasih kepada keluarga - keluarga ini dalam komunitas - komunitas Kristiani. Gereja harus senantiasa memperlihatkan karya pastoralnya bagi mereka yang berada dalam situasi - situasi seperti ini, teristimewa bagi anak - anak yang berasal dari keluarga - keluarga ini."
Paus Fransiskus menekankan bahwa Gereja dalam beberapa dekade terakhir telah menumbuh-kembangkan suatu kesadaran akan perlunya menyambut mereka yang telah bercerai dan menikah kembali. Beliau menekankan pada bagian bahwa mereka tetap bagian dari Gereja - mereka tidaklah diekskomunikasi, dan seharusnya tidak diperlakukan demikian, tetapi dirangkul, dengan keluarga mereka, untuk mengambil bagian dalam kehidupan Gereja: lewat doa, mendengarkan Sabda Allah, pendidikan Kristiani terhadap anak-anak mereka, dan pelayanan kepada mereka yang miskin dan menderita. Beliau merujuk kepada perkataan Paus Emeritus Benediktus XVI, yang mengundang perhatian khusus dan penyertaan pastoral yang bijaksana terhadap keluarga - keluarga yang menghadapi situasi ini, sambil menyadari bahwa tidak ada "solusi yang sederhana" atas segala permasalahan yang menimbulkan luka atas wajah keluarga-keluarga Kristiani.
Gereja, demikian dikatakan Paus Fransiskus, harus meniru Sang Gembala Baik, menyambut semua anak-anaknya selayaknya seorang ibu yang rela memberikan hidupnya bagi mereka. "Kita semua mampu berkarya sesuai peran kita semata-mata atas peran dan kebaikan Sang Gembala Baik, yang mengetahui setiap domba-Nya, dan tidak mengecualikan seorangpun dari belas kasih-Nya."
*****
Marilah kita tilik secara mendalam ucapan Bapa Suci tersebut dan memahami konteksnya secara bijak. Pernikahan adalah suatu ikatan yang luhur bukan hanya antarpasangan yang mengikat janji suci, namun juga antara pasangan tersebut dengan Allah sendiri. Perceraian sungguh bukanlah hal yang diinginkan dalam relasi antara Allah dan pasangan, terutama karena pernikahan terjadi atas rahmat dan belas kasihan Allah semata-mata. Namun, kita juga harus melihat bahwa dalam kasus - kasus tertentu, perceraian seringkali menjadi pilihan yang terbaik.Tentu, keputusan untuk melakukan perceraian tidak boleh sembarangan diambil dengan keputusan sepihak. Kedua belah pihak harus secara bijak dan kepala dingin mencari solusi atas permasalahan yang ada dan menyadari bahwa cinta mereka yang dahulu mereka ikat dalam Sakramen Pernikahan adalah semata-mata rahmat Allah. Oleh karena itu, setiap pasangan harus menyadari bahwa Allah sendirilah sumber segala cinta, bahkan ketika mereka yakin tidak ada lagi cinta dalam kehidupan berkeluarga mereka. Setiap pasangan harus menemukan kembali cinta dari Allah sendiri dan membuka diri mereka terhadap Sabda Allah. Allah yang mengasihi mereka sejak mereka dalam kandungan, harus senantiasa menjadi bagian yang utama dalam hidup mereka.
Seringkali perceraian dijadikan alasan untuk menutupi keengganan pasangan untuk kembali menghadap Allah dan menumbuhkan kembali rasa cinta kepada pasangan mereka. Namun, kita tidak boleh pula melupakan bahwa dalam banyak kasus, perceraian terjadi karena ketidaksetiaan salah satu pihak yang rela meninggalkan pasangannya demi menjalin hubungan dengan orang lain sementara pasangan yang ditinggalkan tetap hidup tegar demi sang buah hati. Apakah dalam kasus ini, cinta Allah tidak tampak dalam hidup yang ditinggalkan?
Cinta adalah hal yang kompleks. Pengingkaran atas cinta kepada pasangan sama artinya dengan pengingkaran terhadap Allah sendiri. Allah adalah cinta dan di tempat cinta ada, di situ Allah ada. Ekskomunikasi, sebagaimana yang kita ketahui, adalah pemutusan hubungan antara anggota Gereja dan Gereja sendiri. Langkah ini hendaknya dipandang sebagai solusi terakhir. Marilah kita mengutamakan persatuan kembali dengan mereka yang telah mengambil jalan perceraian (dan menikah kembali). Kita menyadari bahwa mereka telah mengambil pilihan yang kurang tepat, namun marilah kita menyerahkan segalanya kepada Allah. Biarlah Ia, Yang adalah Cinta, memutuskan yang terbaik atas hidup mereka. Sebagai Gereja yang masih mengharapkan belas kasih Allah, marilah kita pertama-tama menunjukkan belas kasih kepada mereka yang tersingkir dan tidak dipandang. Seringkali kita mencari orang-orang yang harus kita perhatikan di luar Gereja, namun kita tidak sadar bahwa mungkin di samping kiri dan kanan kita, saudara - saudari kita sedang membutuhkan perhatian kita. Disinilah kita seharusnya menjadi saudara yang berbelas kasih, layaknya orang Samaria yang murah hati, bukan kaum Farisi yang memenuhi hidupnya dengan menghakimi orang lain. Biarlah hanya Allah yang menjadi hakim atas hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar