Sabtu, 29 Agustus 2015

Panggilan Imamat: Rahmat Ilahi dan Perjuangan


Panggilan imamat barangkali salah satu dari sekian banyak topik tentang Gereja Katolik yang tidak pernah habis dikupas. Secara khusus, panggilan imamat memiliki makna dan peran tersendiri dalam Gereja Katolik. Sering kita tidak habis pikir, betapa hal sesederhana seperti panggilan imamat seringkali memiliki banyak aspek untuk dikaji.

Saya sendiri secara pribadi memiliki pengalaman unik dengan panggilan imamat. Tulisan kali ini saya gunakan untuk berbagi pengalaman tentang panggilan imamat yang saya alami. Namun, perlu para pembaca ketahui bahwa bahkan sampai saat ini pun saya masih dalam perjuangan untuk menjawab panggilan ini. Saya adalah seorang awam dan panggilan imamat ini pernah dan bahkan sedang menghampiri hidup saya. Bahkan sampai pada titik ini, saya meyakini bahwa saya tidak bisa terlepas dari panggilan imamat ini.


Tulisan kali ini memiliki makna tersendiri bagi saya. Ia muncul setelah perbincangan saya dengan seseorang yang berasal dengan kaum religius. Beliau secara pribadi mengetahui kontak saya dengan panggilan imamat dan menanyakan keputusan saya. Setelah mendengar pendapat yang saya ajukan, beliau nampaknya cukup kecewa dan mengatakan bahwa dengan saya menolak panggilan itu, berarti selama ini yang saya alami bukanlah panggilan. Namun, perlu para pembaca ketahui bahwa tulisan ini bukan dibuat sebagai pembenaran atas yang saya alami. Saya pada prinsipnya terbuka kepada segala masukan dan ucapan beliau saya syukuri sebagai jalan memahami kehendak Tuhan dalam hidup saya.

Pengalaman pribadi saya dengan panggilan dimulai bahkan ketika saya masih kecil. Saya menghabiskan begitu banyak waktu di gereja. Pada waktu itu, saya yakin bahwa semua yang saya lakukan benar berasal dari panggilan saya untuk melayani. Tetapi lambat laun saya belajar bahwa semua yang saya lakukan waktu itu tidak terlepas dari tuntutan dasar manusia: eksistensi diri. Tentu, saya pernah berpikiran seperti ini, namun layaknya seorang anak kecil, saya menolak anggapan ini yang notabene berasal dari diri saya sendiri.
Saya bertumbuh sebagai seorang putra altar dan kelak menjadi koster gereja dalam usia yang cukup muda (sekitar 11 tahun). Kebiasaan ini cukup terjaga sampai saya duduk di bangku SMP. Ada suatu peristiwa ketika saya duduk di kelas 2 SMP. Hari itu adalah Hari Minggu Panggilan dan pastur paroki di gereja saya berkhotbah perihal panggilannya. Layaknya khotbah pada Hari Minggu Panggilan, beliau mengundang kaum muda Katolik untuk menanggapi panggilan Allah dan keluarga untuk mendukung tumbuhnya panggilan tersebut. Antusiasme saya tumbuh pada waktu itu dan bahkan bisa dibilang cukup menggebu-gebu. Setelah Misa, orangtua saya (pada saat itu beliau sudah mengetahui akan bibit panggilan ini dalam diri saya), apakah panggilan itu sungguh hadir dalam diri saya? Dengan semangat, saya menjawab "Ya." Beliau tersenyum. Namun, sejujurnya dalam diri saya, biarpun saya menyambut dengan penuh semangat, terdapat suatu kekosongan dalam diri saya. Sebagai anak remaja, saya cuek akan kekosongan ini dan menganggapnya sebagai hal lumrah.

Aktivitas saya yang dekat dengan Gereja cukup berkurang pada saat saya SMA dan masa-masa awal perkuliahan. Pada tingkat kedua perkuliahan, saya bergabung dengan organisasi kerasulan awam: Legio Maria. Pada awalnya, saya menganggap bahwa Legio Maria tidak ubahnya organisasi kerasulan awam yang lain. Sampai pada akhirnya, saya menemukan suatu buku berjudul "Bakti Sejati kepada Maria." Awalnya, buku ini saya anggap sebagai buku biasa, tidak berbeda dengan yang lain. (Saya akui saya cukup merasa tinggi hati waktu itu karena saya sudah cukup terbiasa dengan buku-buku Katolik). Jujur, bahkan saya tidak mengindahkan buku tersebut (satu hal yang amat saya sesali kelak). Selama 1 - 2 tahun berikutnya, saya tetap aktif dalam Legio Maria. Semua terasa biasa, sampai tiba saatnya kali kedua saya menemukan buku "Bakti Sejati kepada Maria" pada saat membereskan barang-barang yang ada di tempat tinggal saya waktu itu. Karena penasaran, saya mencoba membaca buku tersebut. Saya amat terkejut ternyata buku itu memuat segala jawaban akan pertanyaan saya tentang pribadi Bunda Maria, sosok yang saya kagumi dan dekat hubungannya dengan saya (saya akan bahas alasannya kelak). Hari - hari bahkan bulan - bulan berikutnya saya habiskan memahami buku tersebut sampai saya tiba pada suatu kesimpulan: cinta saya kepada Maria, seberapa besarpun kadarnya, sesungguhnya tidak ada artinya jika dibandingkan dengan cinta saya kepada Yesus, Puteranya. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya mencintai Maria, tapi tidak mau mencintai Yesus, Puteranya. Di sinilah panggilan saya menemukan akarnya. Panggilan ini bukan lagi sebatas rutinitas atau keinginan untuk menampilkan diri, tetapi semata-mata kerinduan untuk melayani Allah secara lebih sempurna.

Kerinduan ini coba saya jawab dengan mendaftarkan diri ke salah satu serikat Maria atau yang kita kenal dengan sebutan Societas Maria Montfortana atau Serikat Maria Montfortan. Melalui surat, saya nyatakan keinginan saya untuk bergabung dengan serikat ini. Ini semua saya lakukan tanpa sepengetahuan keluarga. Perlu diketahui pula bahwa pada saat itu, saya juga sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Puji Tuhan, surat saya diterima dan rektor seminari menyambut keinginan saya. Singkatnya, saya meminta izin untuk mengenal kehidupan biara dan tidak ada satu waktupun yang saya habiskan selama di seminari tanpa kekaguman akan cara hidup mereka. Pada awalnya saya merasa takut, tetapi pada saat mereka mulai melantunkan doa, saya merasakan kecemburuan timbul dalam diri saya. Kenapa mereka bisa begitu dekat dengan Tuhan dan Maria? 
Hari demi hari saya habiskan di seminari sampai tiba waktunya saya kembali ke tempat tinggal saya. Namun, sebelum berpamitan, rektor seminari bertanya kepada saya perihal niat saya apakah disetujui oleh orangtua. Saya katakan orangtua saya tidak mengetahui hal ini dan bahkan mungkin tidak akan pernah menyetujuinya. Dalam hati saya berpikir bahwa tidak mungkin hal ini menjadi hambatan, karena saya sudah cukup umur untuk menentukan jalan hidup saya dan setahu saya, untuk umur saya, tidak diperlukan izin keluarga. Namun, beliau berkata lain. Saya diminta untuk memohon izin kepada keluarga.

Saya cukup terkejut mendengar jawaban beliau. Jawaban beliau memang sederhana, tetapi cukup menyentil saya. Hal ini karena tantangan yang saya hadapi dari pihak keluarga. Sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian, saya menganggap jawaban beliau adalah penolakan halus akan keinginan saya untuk bergabung.

Baru setelah 2 - 3 tahun kemudian, saya mengalami titik balik dalam memahami ucapan beliau. Dalam salah satu kesempatan, saya membaca salah satu berita perihal audiensi Bapa Suci Fransiskus di Vatikan. Lebih kurang beliau berkata, "Jika Kristus bukanlah inti dari panggilanmu, tidak ada salahnya menunda panggilan itu sejenak dan memfokuskan kembali niatmu." Saya cukup terhentak. Hari-hari berikutnya saya mencoba memahami maksud perkataan beliau dan menelisik kembali inti panggilan saya. Saya mencoba mengosongkan kehendak diri sendiri untuk didengarkan dan meluangkan waktu bagi Tuhan dalam keheningan. Perlahan, saya mulai menemukan bahwa diri saya sendirilah yang menghalangi saya untuk melayani Tuhan. Selama ini, saya menyalahkan pihak lain yang tidak mau menerima diri saya. Tetapi faktanya, hambatan itu sejatinya berasal dari diri saya sendiri. Kelemahan daging saya terutama terletak pada sifat saya yang sulit memaafkan orang lain. Setelah melalui pendalaman niat ini, saya sampai kepada suatu pertanyaan, "Apakah saya layak menjadi imam?"

Bahkan sampai saat ini, saya tidak bisa mendapat jawaban yang tepat atas pertanyaan ini. Semakin dalam saya menelisik, semakin banyak saya temukan alasan ketidakpantasan saya melayani Tuhan. Tetapi, pada malam yang lalu, sebagaimana yang saya dengar dari seorang religius, Tuhan tidak pernah memanggil orang-orang yang suci untuk melayani umat-Nya. Ia memanggil mereka yang lemah, berdosa, termasuk mereka yang terluka batinnya. Sepanjang sejarah Gereja, orang-orang yang berdosa ini telah dipakai Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya. Dalam hati, saya mengamini perkataan beliau. Di saat yang sama, saya menanamkan dalam diri dan berkata, "Ya Tuhan, saya tidak pantas."

Sampai sekarang saya masih berjuang mencari jawaban akan panggilan ini. Restu dari pasangan sudah saya dapat, bahkan dari pihak orangtua pasangan saya. Kini semua terletak pada saya. Namun, terlepas dari semuanya, saya menemukan keragu-raguan dalam diri saya. Mampukah saya berbuat dan hidup semata-mata demi Tuhan? Saya yang lemah dan hina dina ini. Maukah Tuhan menerima saya yang berdosa dan cacat ini menjadi hamba-Nya?


Unknown Totus Tuus Maria

Tuhan beserta Anda sekalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar