Nyanyian sebagai partisipasi dan bakti sejati umat dalam Misa Kudus sebenarnya cukup mengusik
saya selama beberapa tahun terakhir ini. Sebelumnya, sebagai seorang yang cukup terbiasa ikut aktif mengambil bagian dalam Kurban Misa, menyanyikan madah-madah dalam Misa cukup menjadi hal yang biasa dalam hidup saya (untuk alasan saya memilih menggunakan istilah 'madah' dibandingkan 'lagu,' dapat Anda lihat disini'). Namun, setelah berpindah tempat tinggal ke daerah yang sebelumnya sama sekali baru bagi saya, saya mendapati suatu kenyataan: umat tidak terbiasa menyanyi dalam Perayaan Ekaristi. Awalnya saya menduga hal ini terjadi pada lingkup terbatas saja dalam tingkatan yang rendah, namun nyatanya setelah beberapa kali mengikuti Perayaan Ekaristi di berbagai gereja, sekali lagi saya terhenyak dengan kenyataan bahwa ini telah menjadi suatu hal yang lumrah di paroki-paroki.Turut bernyanyi adalah bentuk perwujudan iman dalam Misa |
Ragam alasan disampaikan berbagai pihak ketika saya mencoba menelisik perihal latar belakang keengganan umat untuk berpartisipasi dalam bernyanyi dalam Perayaan Ekaristi. Adapun alasan - alasan yang cukup jamak antara lain:
1. Lagunya kurang akrab di telinga
2. Suara saya tidak bagus
3. Saya kurang percaya diri ketika bernyanyi
3. Paduan suara sudah cukup untuk 'tugas' ini
4. Saya mau bernyanyi, tetapi karena suara dari paduan suara kurang terdengar, saya jadi enggan
bernyanyi
5. Saya tidak terbiasa bernyanyi
Masih banyak sebenarnya alasan-alasan yang dikemukakan orang terkait hal ini. Namun saya yakin kelima alasan di atas cukup mewakili. Kini, izinkan saya menyatakan pendapat pribadi terkait alasan-alasan tersebut.
Kekurangakraban umat dengan lagu (baik satu, beberapa, atau bahkan 'semua' lagu) tampaknya menjadi alasan yang paling jamak. Terlepas dari alasan-alasan pendukung apapun yang mungkin dikemukakan (terkecuali alasan-alasan yang secara fisik, psikis, mental, atau emosional menghalangi pelakunya untuk melakukan hal tersebut), kondisi kurang akrab sendiri nyatanya mampu diatasi asalkan ada keinginan untuk memperbaiki atau melangkah ke depan.
Analoginya cukup sederhana: ketika kita menyadari kita kurang akrab dengan seseorang, naluri alamiah kita akan menggerakkan kita untuk berupaya mencari cara untuk semakin dekat dengan orang tersebut. Manusia dilahirkan dari kebaikan dan untuk kebaikan. Inilah naluri alamiah kita. Pertanyaannya ialah: jika sedemikian rupa halnya yang akan kita lakukan untuk menjadi lebih dekat dengan seseorang, terutama yang kita tertarik, bagaimana seharusnya kita berbuat untuk Tuhan?
Pertanyaan ini selanjutnya, tanpa atau dengan kita sadari, akan merujuk pada pertanyaan: sungguhkah saya percaya akan kehadiran nyata Tuhan dalam Ekaristi?
Ketika seseorang mendapatkan tempat yang istimewa dalam hidup kita, secara naluri kita akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan yang terbaik. Ini wujud cinta kita kepada orang tersebut. Sekarang, mari kita renungkan, jika untuk manusia saja kita rela berbuat bahkan berjuang yang terbaik, maka seharusnya apa yang kita lakukan bagi Tuhan?
Anda mungkin berkata, "Suara saya kurang bagus," atau "Saya kurang percaya diri ketika bernyanyi," atau "Saya tidak terbiasa bernyanyi." Semua alasan ini sebenarnya datang dari dalam diri Anda sendiri atau dengan kata lain, Anda sendirilah yang membuat batasan ini dalam diri Anda sendiri. Saya secara pribadi, juga bukanlah seorang yang dikaruniai suara seindah malaikat. Mendapatkan nada yang tepat pun seringkali saya harus bersusah payah. Namun, ini tidak menghalangi saya untuk bernyanyi. Dalam pikiran saya, saya tanamkan hal ini: Kupersembahkan nyanyian ini kepadamu Tuhan, kurbanku pada hari ini. Inilah diriku. Terimalah ya Tuhan. Saya tahu bahwa kualitas suara saya mungkin tidak sebaik orang lain, tetapi biarlah Tuhan berkenan menerima persembahan saya yang saya haturkan dari kekurangan saya. Tidakkah pernah Anda baca bahwa Tuhan sendiri mengatakan bahwa persembahan seorang janda miskin lebih berharga dari persembahan orang-orang yang memberi dari kelebihan? (bdk Markus 12:43)
Di atas semuanya itu, mari kita merenungkan kembali bahwa Misa Kudus pertama-tama adalah penghadiran Kurban Ekaristi. Kristus telah berkurban bagi kita dengan wafat-Nya di salib dengan seutuhnya. Jika kita mengaku kita adalah umat-Nya, yang menerima anugerah cinta-Nya setiap saat, tidak maukah kita membalas cinta-Nya ini dengan cara yang sederhana? Suara kita adalah awal mula persembahan kita. Mungkin kita tidak punya waktu untuk berbagi dengan sesama atau aktif sebagai petugas liturgi atau tugas-tugas lain yang disarankan Gereja, tetapi itu tidak berarti kita tidak dapat berkurban. Kita berkurban mulai dari hal-hal yang sederhana: persembahan suara kita.
Kiranya alasan ini juga mampu menjawab alasan yang dikemukakan sebagian orang ketika mereka merasa cukup dengan kehadiran petugas paduan suara. Misa Kudus adalah persembahan seluruh Gereja, bukan individual atau kelompok. Kehadiran seseorang atau suatu kelompok dalam Misa tanpa kehadiran dan partisipasi seluruh umat beriman akan menghilangkan makna seluruhnya dari Ekaristi itu sendiri. Terlebih dalam Ekaristi, kita menerima Tuhan sendiri dalam rupa Tubuh (dan Darah) yang Ia karuniakan bagi kita. Karunia Ilahi ini menyatukan kita bukan hanya dengan Kristus, tetapi juga dengan seluruh umat beriman. Kita saling membutuhkan dan kurban kita tidak akan lengkap tanpa kurban bukti cinta seluruh Gereja. Persembahan suara kita turut melambungkan puji dan syukur kita ke hadirat Allah. Kita tidak perlu berpikir tentang hal-hal yang megah, meriah, besar, atau apapun yang lain jika kita menolak untuk mempersembahkan hal-hal kecil dalam hidup kita.
Semoga melalui tulisan ini, kita semakin mendedikasikan hidup kita untuk hidup dalam cinta Tuhan dan melayani sesama.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar