Setiap kali kita membahas tentang Gereja, kita tidak akan pernah terlepas dari tugas Gereja untuk memelihara kehidupan. Bahkan, tugas ini bisa dikatakan salah satu tugas terpenting yang diemban Gereja dari Kristus sendiri. Namun, sayangnya banyak orang yang mengaku diri mereka Katolik. Banyak orang yang mengaku diri memiliki iman kepada Kristus, tetapi memilih untuk mengabaikan tugas ini.
Jadi apa sebenarnya yang dimaksud dengan memelihara kehidupan?
Kehidupan adalah Karunia Ilahi
Bila ada hal terindah di dunia ini setelah kasih, maka sudah pasti hal tersebut adalah kehidupan.
Terlepas dari baik buruknya seseorang, tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan setiap orang kita mampu melihat kebaikan dan keindahan. Dalam bahasa Gereja, kita mampu melihat dalam diri setiap orang Kristus yang hadir di sini dan pada saat ini. Karunia kehidupan berawal dari Allah. Ia adalah Cinta itu sendiri dan dengan cinta-Nya, Ia menciptakan manusia. Kita semua berasal dari Allah dan sejak awal mula kehidupan kita seharusnya dipersembahkan kepada Allah semata-mata. Tubuh kita adalah Bait Allah, dengan ini Kristus sendiri mewahyukan salah satu hal terpenting dalam hidup ini. Namun, di atas segalanya itu, kita harus menyadari bahwa setiap kali suatu kehidupan dimulai, kehidupan tersebut berasal dari nafas Allah. Setiap kali suatu kehidupan dimulai, cinta Allah hadir, bahkan dalam bentuk kehidupan yang paling sederhana sekalipun, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam kehidupan, kita melihat Allah dan Allah berkarya di dalam kita.
Rusaknya kehidupan
Seluruh kehidupan pada awal mulanya adalah baik, diciptakan dan dipersembahkan demi kemuliaan Allah sendiri. Namun, kehidupan akan dengan sendirinya kehilangan aspek keindahannya apabila tidak diiringi dengan kehendak bebas. Sungguh merupakan suatu karunia ketika manusia dikaruniai kehendak bebas, yang tidak dimiliki oleh hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Kehendak bebas memampukan manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Apabila dilakoni dengan benar, kehendak bebas menyertakan jalan yang tepat bagi setiap insan untuk melihat bahwa dalam setiap aspek kehidupan Allah hadir dan berkarya. Namun, unsur 'bebas' dalam kehendak bebas juga memiliki potensi lain. Sebagaimana manusia diberikan otonomi sepenuhnya dalam menentukan jalan hidup mereka, manusia juga dapat memilih untuk tidak mempersembahkan hidupnya demi kemuliaan Allah dan memilih untuk hidup di jalan yang kurang baik. Setiap kali keputusan ini dibuat, kita telah memilih untuk merusak kehidupan.
Suatu kehidupan dirusak ketika seorang insan merusak kualitas kehidupan dirinya sendiri. Rusaknya kehidupan dimulai ketika ia melakukan 'kelalaian-kelalaian kecil' yang seringkali dianggap tidak berarti, misalnya berbohong, iri hati, cemburu, diam untuk menyembunyikan kebenaran, marah, dan lain-lain. Dalam diri kita terdapat potensi kehidupan yang dipersembahkan demi kemuliaan Allah, namun dalam diri kita pula terdapat potensi kehidupan yang dirusak untuk merendahkan kemuliaan Allah.
Gereja, Bejana Kehidupan
Sebagai wujud kehadiran Kristus di dunia, Gereja berkomitmen mengerahkan segala daya dan upaya untuk memelihara kehidupan. Gereja senantiasa aktif berkarya di tengah-tengah dunia, bahkan politik untuk memelihara kehidupan. Namun, semuanya ini tidak lebih berarti dari upaya - upaya yang dilakukan Gereja untuk membina setiap insan agar setiap pilihan yang mereka buat senantiasa dipersembahkan untuk kemuliaan Allah, bukan merendahkan Allah sendiri. Inilah bakti sejati yang diimani oleh Gereja dan senantiasa diajarkan Gereja kepada setiap orang yang memilih untuk menaruh iman mereka kepada Kristus.
Dalam hidup kita, kita senantiasa dihadapkan kepada pilihan. Terlepas dari berapa banyaknya pilihan yang terlihat di hadapan kita, dengan mudah dapat kita pilah menjadi pilihan yang baik dan yang buruk. Ada beberapa contoh yang dapat kita pelajari: orangtua dapat memilih untuk mementingkan karir/urusan atau anak mereka, seorang anak dapat memilih untuk mementingkan pendidikannya atau hasrat pribadinya, seorang politisi dapat memilih untuk mementingkan urusan partainya atau masyarakat luas, seorang pegiat hukum dapat memilih untuk melihat kebenaran atau yang tampaknya terlihat sebagai kebenaran. Gereja pun senantiasa dihadapkan kepada pilihan. Seringkali pilihan yang dihadapi oleh Gereja adalah senantiasa berjalan di jalan yang telah ditetapkan Kristus atau berjalan menurut kehendak dunia.
Pilihan untuk menolak aborsi dan hukuman mati seringkali menjadi sorotan dunia terhadap Gereja. Kecenderungan masyarakat dunia untuk memilih hal-hal yang memuaskan kepentingan diri dan kelompok mereka dibandingkan pemeliharaan kehidupan mendasari jatuhnya penilaian yang kurang baik kepada Gereja. Para orangtua seringkali dengan mudah memilih untuk melakukan aborsi terhadap bayi mereka tanpa sama sekali melihat kenyataan yang begitu indah yang dimiliki oleh setiap insan. Setiap bayi yang hadir dalam rahim seorang ibu adalah seorang malaikat kehidupan. Ia memiliki begitu banyak potensi untuk menjadi pembawa rahmat kehidupan kelak di kehidupannya. Namun, sekali lagi, Allah memberikan pilihan kepada setiap orangtua. Apakah mereka mau mengabdikan diri mereka bagi kehidupan bayi ini kelak? Apakah mereka mau dengan mudahnya menilai bahwa seorang bayi tidak lebih dari sekadar hasil hubungan seorang wanita dan pria, terlepas dari adanya rasa suka atau tidak? Apakah mereka dengan mudahnya dapat mengatakan bahwa seorang bayi dapat dikorbankan jika orangtuanya tidak siap?
Jika kita cermati, betapa Allah telah memuliakan diri-Nya lewat tindakan dan pilihan yang kita buat. Allah mengaruniakan kepada setiap insan mulia, yakni seorang ibu untuk melakukan hal yang terbaik buat bayinya. Bayi adalah seorang insan yang begitu mulia, luhur, murni, dan berpotensi untuk mengubah kehidupan setiap orang jika ia sendiri mendapatkan didikan yang benar dari kedua orangtuanya. Namun, dengan segala potensi ini, setiap bayi ditempatkan pada posisi tidak berdaya dan dalam lindungan kedua orangtuanya. Setiap bayi hanya bisa merunduk, mohon perlindungan, dan pasrah atas setiap keputusan yang dibuat orangtuanya. Marilah kita menyadari bahwa bahkan sebelum setiap bayi dilahirkan, telah terlebih dahulu ia mengajarkan kepada kita kepasrahan yang total kepada orangtuanya. Ia belum melihat orangtuanya, namun ia telah merasakan betapa besar kasih yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Atas dasar ini, ia menyerahkan hidupnya kepada orangtuanya laksana seekor domba yang digiring ke tempat pembantaian. Mulutnya kelu dan ia pasrah.
Hukuman mati menjadi pilihan berat lain yang diambil oleh Gereja. Di saat semakin banyak komunitas dunia yang melegalkan hukuman mati terhadap tindak kejahatan berat seperti narkoba dan terorisme, Gereja memilih untuk tidak memberikan jenis hukuman ini kepada mereka yang telah melakukan kejahatan-kejahatan serius. Gereja tidak menolak pandangan atas kejahatan yang mereka lakukan, bahkan jika kejahatan itu menghilangkan nyawa ribuan, jutaan, atau bahkan miliaran orang. Gereja hanya melihat bahwa ada satu alternatif lain yang dapat berdampak positif, bahkan mendidik bagi pelaku tindak kejahatan tersebut dan korban/mereka yang terikat dalam suatu relasi dengan korban.
Dunia berasumsi bahwa tidak mungkin kita menjaga hak seorang manusia untuk hidup, dengan mengacuhkan hak orang lain untuk hidup atas dasar perbuatan yang ia telah lakukan. Lagipula, proses untuk mendapatkan hukuman mati bukanlah suatu proses yang instan. Terlebih dahulu harus dijalani proses hukum mulai dari banding, kasasi, hingga pengajuan kembali putusan yang dibuat oleh suatu mahkamah hukum tertinggi di suatu negara. Kehidupan suatu orang layak diambil apabila ia telah merenggut nyawa orang-orang lain.
Dalam pikiran kita, kita merasa bahwa kita telah melakukan tindakan yang benar. Namun, mari sejenak kita berpikir, bahwa di saat kita memilih untuk memberikan hukuman mati, kita menempatkan diri kita sendiri sebagai pembunuh. Terlebih di atas segalanya, kita menempatkan diri kita sebagai seseorang dengan kekuatan dan pelaku tindak kejahatan tersebut sebagai seseorang tanpa daya. Jika begini, apa bedanya kita dengan pelaku tindak kriminal tersebut, seorang pembunuh, atau seorang ibu yang melakukan aborsi atas bayinya?
Saya sendiri berpendapat alangkah baiknya apabila hukuman mati diubah menjadi suatu bentuk pelayanan masyarakat dengan jangka waktu tertentu. Mungkin bentuk ini kurang sempurna sehingga saya harap dapat disempurnakan oleh pihak - pihak yang lebih berkompeten dari saya. Saya mengusulkan bahwa setiap terpidana kasus kejahatan serius dihukum dengan memberikan kehidupan bagi orang - orang lain dengan jumlah yang sama dengan potensi korban yang akan dan korban yang telah menderita akibat perbuatannya. Dengan demikian, apabila akibat perbuatannya, negara memperkirakan ia telah dan akan merusak kehidupan dari 2 juta orang, maka hukumannya ialah ia wajib bertanggungjawab atas 2 juta orang yang lain atas hidup mereka. Ia bertanggungjawab mendidik mereka untuk menjadi orang-orang yang berkualitas hidupnya, termasuk mendidik mereka untuk jauh dari narkoba dan negara wajib melakukan pengawasan. Setelah ia menunaikan tugasnya, barulah ia dapat bebas kembali.
Pemikiran ini baru merupakan pemikiran dasar dan butuh pengembangan lebih lanjut. Namun, setidaknya pilihan yang saya buat ini tidak menghilangkan kehidupan dari pihak manapun. Bahkan, lebih baik lagi, ia memberikan kehidupan kepada sebanyak mungkin orang. Jika opsi ini diterapkan, betapa banyak kehidupan yang bisa kita jaga dan betapa tinggi penghargaan atas kehidupan yang bisa kita raih.
Semoga tulisan ini berguna buat kita sekalian.