Sabtu, 13 Juni 2015

Lagu atau Madah?


Misa Kudus bukan hanya ajang selebrasi, perayaan, atau kemeriahan semata. Misa Kudus adalah pertama - tama kurban dan persembahan. Setiap orang yang hadir dalam Misa Kudus mengambil bagian dalam Kurban Misa dengan lebih dahulu mempersembahkan dirinya sendiri. Banyak umat beriman Katolik seringkali lalai dalam pengertian ini dan memilih untuk menganggap Misa Kudus sebagai perayaan (meriah) semata. Masing-masing individu umat pun memiliki interpretasi sendiri akan Misa yang 'sepantasnya,' namun seringkali yang menjadi acuan adalah 'semeriah' apa suatu Misa.


Tanpa kita sadari, tolok ukur Misa ditentukan oleh semeriah apa situasi selama Misa berlangsung. Banyak yang kita bisa jadikan contoh. Beberapa umat cenderung menghadiri Misa Kudus karena ia merasa situasi Misa lebih meriah karena lagu-lagu yang dibawakan bagus. Dari segi manusia sendiri, hal ini tidak dapat disalahkan. Tetapi, mari kembali kita mengingat bahwa Kurban Misa bukan semata-mata diperuntukkan bagi manusia belaka, tetapi juga ada aspek vertikal dari Kurban Misa itu sendiri.

Cara yang paling sederhana memahami Kurban Misa adalah analogi salib. Kurban Misa dipersembahkan untuk menghaturkan pujian kepada Allah atas segala rahmat dan kasih-Nya (aspek vertikal). Di waktu yang sama, Kurban Misa juga dipersembahkan sebagai harapan persatuan antarumat (aspek horizontal). Oleh karena itu, setiap unsur dalam Misa Kudus maupun Misa Kudus secara penuh harus melambangkan kedua unsur ini. Umat bisa saja merasa nyaman dengan nyanyian -nyanyian yang dibawakan dalam Misa. Tentu saja hal ini baik, terutama jika ditinjau hanya dari bagaimana kita membuat umat betah datang ke gereja. Namun, jika pertanyaannya adalah: apakah Misa Kudus sebatas enak tidaknya suatu nyanyian? 
Bagaimana tanggapan kita?

Tentu makna Kurban Misa jauh lebih dalam, tinggi, dan ilahi lagi dari sekadar enak tidaknya suatu nyanyian. Apabila Anda memperhatikan dengan seksama Doa Syukur Agung pada Misa, imam mendoakan bahwa kiranya Tuhan menerima persembahan (Kurban Paskah) yang dipersembahkan seluruh Gereja, dalam persatuan dengan Bapa Suci, Uskup (lokal), para uskup, imam, diakon, dan para pelayan Sabda-Nya.
Kurban Misa memang sejatinya adalah kurban yang dipersembahkan seluruh Gereja, bukan hanya perorangan dengan minat dan selera masing-masing. Terlebih lagi, Gereja juga memohonkan rahmat persatuan (communio) yang diperoleh dengan rahmat Komuni Kudus. Kedua hal ini menekankan pada satu esensi Kurban Misa: Kurban Misa bukanlah perihal individual, tetapi sebagai suatu persatuan umat dengan Kristus sebagai kepalanya dan senantiasa membaktikan diri demi terlaksananya kehendak Allah.

Nyanyian sebagai salah satu aspek Kurban Misa juga hendaknya hidup dan didasarkan pada esensi ini serta ideologi salib. Kurban Misa tidak diukur dari enak tidaknya suatu nyanyian, tetapi bagaimana kita membalas cinta Allah dalam diri kita, hidup kita, sesama, dan lingkungan kita. Oleh karena itu, Gereja Katolik senantiasa menekankan dalam hal nyanyian yang digunakan selama Misa Kudus, untuk pertama-tama memusatkan diri pada hal-hal yang disampaikan melalui nyanyian tersebut. Di sini akan lebih mudah kita pahami maknanya apabila kita menggunakan kata 'madah' dibandingkan 'nyanyian.'

Ditinjau dari rasa kata, madah lebih menekankan pada isi yang disampaikan, sementara 'nyanyian' seringkali menonjolkan rasa dan irama. Ketika umat menjadi lebih mementingkan enak tidaknya suatu nyanyian didengar, maka pada saat itu juga umat kehilangan makna dari Ekaristi itu sendiri. Hal ini karena umat lebih mementingkan aspek diri sendiri (ego) jauh lebih besar dibandingkan persatuan dengan sesamanya dan Tuhan sendiri. Jika kita dengan lebih rinci menelisik madah-madah yang lahir sepanjang tradisi Gereja dan yang disarankan oleh Gereja, maka tidak kita jumpai adanya kata 'aku,' melainkan kata 'kami,' Hal ini memiliki alasan tersendiri. Gereja menghendaki agar setiap umat yang hadir dalam Kurban Misa mempersembahkan terlebih dahulu dirinya dengan membuang rasa ego dan menyatu dengan seluruh umat dalam memberikan persembahan mereka kepada Allah. Jika belakangan ini banyak lagu-lagu dengan kata 'aku' yang muncul di Gereja, maka sudah tentu ini akan mengurangi makna dari persekutuan Ekaristis itu sendiri.

Terkadang umat lalai dan acuh tak acuh karena menganggap madah (mari kita biasakan menyebut segala lagu dalam Misa sebagai Madah, bukan nyanyian) bukan hal penting dalam kehidupan mereka secara umum dan secara khusus keberlangsungan Misa sendiri. Ini merupakan kesalahan fatal. Seluruh jiwa dan raga kita diciptakan untuk memuji Tuhan dan ketidakacuhan kita kepada salah satunya merupakan titik awal ketidakacuhan kita pada Tuhan dan sesama.


Semoga tulisan kali ini memberikan kita sesuatu untuk dipelajari.
Terimakasih.
Unknown Totus Tuus Maria

Tuhan beserta Anda sekalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar