Jumat, 26 Juni 2015

Gereja, Bejana Kehidupan


Setiap kali kita membahas tentang Gereja, kita tidak akan pernah terlepas dari tugas Gereja untuk memelihara kehidupan. Bahkan, tugas ini bisa dikatakan salah satu tugas terpenting yang diemban Gereja dari Kristus sendiri. Namun, sayangnya banyak orang yang mengaku diri mereka Katolik. Banyak orang yang mengaku diri memiliki iman kepada Kristus, tetapi memilih untuk mengabaikan tugas ini. 
Jadi apa sebenarnya yang dimaksud dengan memelihara kehidupan?

Kehidupan adalah Karunia Ilahi

Bila ada hal terindah di dunia ini setelah kasih, maka sudah pasti hal tersebut adalah kehidupan.
Terlepas dari baik buruknya seseorang, tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan setiap orang kita mampu melihat kebaikan dan keindahan. Dalam bahasa Gereja, kita mampu melihat dalam diri setiap orang Kristus yang hadir di sini dan pada saat ini. Karunia kehidupan berawal dari Allah. Ia adalah Cinta itu sendiri dan dengan cinta-Nya, Ia menciptakan manusia. Kita semua berasal dari Allah dan sejak awal mula kehidupan kita seharusnya dipersembahkan kepada Allah semata-mata. Tubuh kita adalah Bait Allah, dengan ini Kristus sendiri mewahyukan salah satu hal terpenting dalam hidup ini. Namun, di atas segalanya itu, kita harus menyadari bahwa setiap kali suatu kehidupan dimulai, kehidupan tersebut berasal dari nafas Allah. Setiap kali suatu kehidupan dimulai, cinta Allah hadir, bahkan dalam bentuk kehidupan yang paling sederhana sekalipun, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam kehidupan, kita melihat Allah dan Allah berkarya di dalam kita.


Rusaknya kehidupan

Seluruh kehidupan pada awal mulanya adalah baik, diciptakan dan dipersembahkan demi kemuliaan Allah sendiri. Namun, kehidupan akan dengan sendirinya kehilangan aspek keindahannya apabila tidak diiringi dengan kehendak bebas. Sungguh merupakan suatu karunia ketika manusia dikaruniai kehendak bebas, yang tidak dimiliki oleh hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Kehendak bebas memampukan manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Apabila dilakoni dengan benar, kehendak bebas menyertakan jalan yang tepat bagi setiap insan untuk melihat bahwa dalam setiap aspek kehidupan Allah hadir dan berkarya. Namun, unsur 'bebas' dalam kehendak bebas juga memiliki potensi lain. Sebagaimana manusia diberikan otonomi sepenuhnya dalam menentukan jalan hidup mereka, manusia juga dapat memilih untuk tidak mempersembahkan hidupnya demi kemuliaan Allah dan memilih untuk hidup di jalan yang kurang baik. Setiap kali keputusan ini dibuat, kita telah memilih untuk merusak kehidupan. 
Suatu kehidupan dirusak ketika seorang insan merusak kualitas kehidupan dirinya sendiri. Rusaknya kehidupan dimulai ketika ia melakukan 'kelalaian-kelalaian kecil' yang seringkali dianggap tidak berarti, misalnya berbohong, iri hati, cemburu, diam untuk menyembunyikan kebenaran, marah, dan lain-lain. Dalam diri kita terdapat potensi kehidupan yang dipersembahkan demi kemuliaan Allah, namun dalam diri kita pula terdapat potensi kehidupan yang dirusak untuk merendahkan kemuliaan Allah.

Gereja, Bejana Kehidupan

Sebagai wujud kehadiran Kristus di dunia, Gereja berkomitmen mengerahkan segala daya dan upaya untuk memelihara kehidupan. Gereja senantiasa aktif berkarya di tengah-tengah dunia, bahkan politik untuk memelihara kehidupan. Namun, semuanya ini tidak lebih berarti dari upaya - upaya yang dilakukan Gereja untuk membina setiap insan agar setiap pilihan yang mereka buat senantiasa dipersembahkan untuk kemuliaan Allah, bukan merendahkan Allah sendiri. Inilah bakti sejati yang diimani oleh Gereja dan senantiasa diajarkan Gereja kepada setiap orang yang memilih untuk menaruh iman mereka kepada Kristus.
Dalam hidup kita, kita senantiasa dihadapkan kepada pilihan. Terlepas dari berapa banyaknya pilihan yang terlihat di hadapan kita, dengan mudah dapat kita pilah menjadi pilihan yang baik dan yang buruk. Ada beberapa contoh yang dapat kita pelajari: orangtua dapat memilih untuk mementingkan karir/urusan atau anak mereka, seorang anak dapat memilih untuk mementingkan pendidikannya atau hasrat pribadinya, seorang politisi dapat memilih untuk mementingkan urusan partainya atau masyarakat luas, seorang pegiat hukum dapat memilih untuk melihat kebenaran atau yang tampaknya terlihat sebagai kebenaran. Gereja pun senantiasa dihadapkan kepada pilihan. Seringkali pilihan yang dihadapi oleh Gereja adalah senantiasa berjalan di jalan yang telah ditetapkan Kristus atau berjalan menurut kehendak dunia. 

Pilihan untuk menolak aborsi dan hukuman mati seringkali menjadi sorotan dunia terhadap Gereja. Kecenderungan masyarakat dunia untuk memilih hal-hal yang memuaskan kepentingan diri dan kelompok mereka dibandingkan pemeliharaan kehidupan mendasari jatuhnya penilaian yang kurang baik kepada Gereja. Para orangtua seringkali dengan mudah memilih untuk melakukan aborsi terhadap bayi mereka tanpa sama sekali melihat kenyataan yang begitu indah yang dimiliki oleh setiap insan. Setiap bayi yang hadir dalam rahim seorang ibu adalah seorang malaikat kehidupan. Ia memiliki begitu banyak potensi untuk menjadi pembawa rahmat kehidupan kelak di kehidupannya. Namun, sekali lagi, Allah memberikan pilihan kepada setiap orangtua. Apakah mereka mau mengabdikan diri mereka bagi kehidupan bayi ini kelak? Apakah mereka mau dengan mudahnya menilai bahwa seorang bayi tidak lebih dari sekadar hasil hubungan seorang wanita dan pria, terlepas dari adanya rasa suka atau tidak? Apakah mereka dengan mudahnya dapat mengatakan bahwa seorang bayi dapat dikorbankan jika orangtuanya tidak siap?
Jika kita cermati, betapa Allah telah memuliakan diri-Nya lewat tindakan dan pilihan yang kita buat. Allah mengaruniakan kepada setiap insan mulia, yakni seorang ibu untuk melakukan hal yang terbaik buat bayinya. Bayi adalah seorang insan yang begitu mulia, luhur, murni, dan berpotensi untuk mengubah kehidupan setiap orang jika ia sendiri mendapatkan didikan yang benar dari kedua orangtuanya. Namun, dengan segala potensi ini, setiap bayi ditempatkan pada posisi tidak berdaya dan dalam lindungan kedua orangtuanya. Setiap bayi hanya bisa merunduk, mohon perlindungan, dan pasrah atas setiap keputusan yang dibuat orangtuanya. Marilah kita menyadari bahwa bahkan sebelum setiap bayi dilahirkan, telah terlebih dahulu ia mengajarkan kepada kita kepasrahan yang total kepada orangtuanya. Ia belum melihat orangtuanya, namun ia telah merasakan betapa besar kasih yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Atas dasar ini, ia menyerahkan hidupnya kepada orangtuanya laksana seekor domba yang digiring ke tempat pembantaian. Mulutnya kelu dan ia pasrah.

Hukuman mati menjadi pilihan berat lain yang diambil oleh Gereja. Di saat semakin banyak komunitas dunia yang melegalkan hukuman mati terhadap tindak kejahatan berat seperti narkoba dan terorisme, Gereja memilih untuk tidak memberikan jenis hukuman ini kepada mereka yang telah melakukan kejahatan-kejahatan serius. Gereja tidak menolak pandangan atas kejahatan yang mereka lakukan, bahkan jika kejahatan itu menghilangkan nyawa ribuan, jutaan, atau bahkan miliaran orang. Gereja hanya melihat bahwa ada satu alternatif lain yang dapat berdampak positif, bahkan mendidik bagi pelaku tindak kejahatan tersebut dan korban/mereka yang terikat dalam suatu relasi dengan korban.
Dunia berasumsi bahwa tidak mungkin kita menjaga hak seorang manusia untuk hidup, dengan mengacuhkan hak orang lain untuk hidup atas dasar perbuatan yang ia telah lakukan. Lagipula, proses untuk mendapatkan hukuman mati bukanlah suatu proses yang instan. Terlebih dahulu harus dijalani proses hukum mulai dari banding, kasasi, hingga pengajuan kembali putusan yang dibuat oleh suatu mahkamah hukum tertinggi di suatu negara. Kehidupan suatu orang layak diambil apabila ia telah merenggut nyawa orang-orang lain. 
Dalam pikiran kita, kita merasa bahwa kita telah melakukan tindakan yang benar. Namun, mari sejenak kita berpikir, bahwa di saat kita memilih untuk memberikan hukuman mati, kita menempatkan diri kita sendiri sebagai pembunuh. Terlebih di atas segalanya, kita menempatkan diri kita sebagai seseorang dengan kekuatan dan pelaku tindak kejahatan tersebut sebagai seseorang tanpa daya. Jika begini, apa bedanya kita dengan pelaku tindak kriminal tersebut, seorang pembunuh, atau seorang ibu yang melakukan aborsi atas bayinya?

Saya sendiri berpendapat alangkah baiknya apabila hukuman mati diubah menjadi suatu bentuk pelayanan masyarakat dengan jangka waktu tertentu. Mungkin bentuk ini kurang sempurna sehingga saya harap dapat disempurnakan oleh pihak - pihak yang lebih berkompeten dari saya. Saya mengusulkan bahwa setiap terpidana kasus kejahatan serius dihukum dengan memberikan kehidupan bagi orang - orang lain dengan jumlah yang sama dengan potensi korban yang akan dan korban yang telah menderita akibat perbuatannya. Dengan demikian, apabila akibat perbuatannya, negara memperkirakan ia telah dan akan merusak kehidupan dari 2 juta orang, maka hukumannya ialah ia wajib bertanggungjawab atas 2 juta orang yang lain atas hidup mereka. Ia bertanggungjawab mendidik mereka untuk menjadi orang-orang yang berkualitas hidupnya, termasuk mendidik mereka untuk jauh dari narkoba dan negara wajib melakukan pengawasan. Setelah ia menunaikan tugasnya, barulah ia dapat bebas kembali. 
Pemikiran ini baru merupakan pemikiran dasar dan butuh pengembangan lebih lanjut. Namun, setidaknya pilihan yang saya buat ini tidak menghilangkan kehidupan dari pihak manapun. Bahkan, lebih baik lagi, ia memberikan kehidupan kepada sebanyak mungkin orang. Jika opsi ini diterapkan, betapa banyak kehidupan yang bisa kita jaga dan betapa tinggi penghargaan atas kehidupan yang bisa kita raih.


Semoga tulisan ini berguna buat kita sekalian.
Unknown Totus Tuus Maria

Tuhan beserta Anda sekalian.

Rabu, 17 Juni 2015

Hal Berpuasa dan Bersedekah


Tulisan kali ini merupakan renungan pribadi saya atas bacaan harian hari ini yang diambil dari penanggalan liturgi:

Bacaan Injil : Matius 6 : 1 - 6; 16- 18

Isi Bacaan    :
"Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan oran gsupaya dilihat mereka,
karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu,"

"Dan apabila engkau berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu  yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.'


Renungan:
Pada hari ini, kita diingatkan kembali akan dua hal yang menjadi identitas seorang Kristiani: berpuasa dan bersedekah. Bersama-sama dengan doa, hendaknya setiap umat beriman Kristiani menjadikan hidupnya sarana untuk senantiasa berpuasa dan bersedekah. Kedua hal ini begitu mulia nilainya, namun acapkali kita salah mengartikan makna keduanya. Banyak dari kita yang menganggap bahwa berpuasa dan bersedekah terbatas pada perbuatan fisik saja. Berpuasa, misalnya, cukup diartikan sebagai (minimal) menahan lapar dan dahaga dengan makan kenyang cukup satu kali dalam satu hari. Di lain pihak, banyak dari kita juga mengartikan bersedekah sebagai menyisihkan harta yang kita miliki untuk kepentingan/membantu orang lain. Memang hal ini tidak salah, namun makna yang sesungguhnya dari berpuasa dan bersedekah jauh melebihi tindakan fisik yang terlihat itu sendiri.

Bersedekah dan berpuasa pertama-tama adalah tindakan penyangkalan diri sendiri. Keduanya dimulai dengan pengakuan kita akan hakikat kita sebagai seorang manusia: kita adalah makhluk daging dengan Roh Tuhan hidup dalam diri kita. Ini artinya, biarpun kita telah dianugerahi Allah kemurnian sejak kita lahir, kita tidak terlepas dari keinginan-keinginan duniawi yang kerapkali mengungkung diri kita dan menjauhkan kita dari Tuhan. Dalam hal ini, berpuasa dan bersedekah menjadi sarana yang sempurna untuk kembali kepada Tuhan (retret) dengan mengasingkan segala keinginan - keinginan duniawi yang melekat dalam hidup kita dan mengupayakan diri mendengarkan Allah yang bersabda dalam kehidupan kita sehari - hari. Sabda Allah ini, juga bukanlah terbatas pada bacaan yang kita dengar dalam Misa, ibadat, dan teks Kitab Suci. Sabda Allah pertama - tama kita jumpai dalam saudara - saudari, sesama kita sendiri. Tidakkah kita ingat Kristus yang bersabda, "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (bdk. Matius 25:40).

Tidakkah kita sadari betapa banyak orang yang kehilangan kehidupan mereka hanya dikarenakan mereka tidak mendapatkan perhatian dari orang lain? Tidakkah kita sadari betapa banyak keluarga dan pasangan suami istri yang hancur hanya dikarenakan salah satu atau bahkan kedua pihak tidak mau bermatiraga dan mendengarkan pasangannya? Tidakkah kita melihat kehancuran generasi muda dimulai dari kurangnya perhatian dari keluarga teristimewa karena mereka kurang didengar oleh orang-orang yang mereka sebut sebagai keluarga?

Kualitas suatu kehidupan ditentukan oleh seberapa baiknya orang-orang memperhatikan satu sama lain. Ketika orang-orang mulai acuh tak acuh terhadap sesamanya, disitulah kehancuran kehidupan dimulai. Dengan kita berpuasa dan bersedekah, kita menyisihkan waktu untuk sesama kita yang membutuhkan, menyajikan kehidupan kepada mereka, dan senantiasa berada di sisi mereka dalam suka duka. Kehidupan inilah yang dikehendaki oleh Kristus sendiri, kehidupan saling berbagi dalam cinta, bukan yang terpaku pada tindakan-tindakan fisik yang mengesampingkan moral dan cinta kasih.

Di sisi lain, Kristus juga berpesan hal yang penting kepada setiap umat Kristiani untuk mengesampingkan pencarian pahala dari setiap perbuatan yang kita lakukan. Kita dituntut untuk berbuat kasih dan membawa perdamaian, namun jangan sekali - kali intensi ini kita campuradukkan dengan intensi pribadi kita. Jangan pernah sekalipun kita berpikir bahwa kita berbuat kebaikan untuk kepentingan kita di masa sekarang atau masa depan karena sejatinya ini bukanlah perbuatan nyata kasih. Terlepas dari apa yang Anda lakukan, mencampuradukkan niat pribadi Anda dengan berpuasa dan bersedekah hanya akan mengotori hidup Anda sendiri. 
Contoh nyata dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari - hari. Banyak terjadinya fenomena ketika orang menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa mereka mencintai seseorang yang padahal baru mereka temui di dunia maya. Ketika ditanya apakah itu benar cinta yang mereka rasakan, dengan penuh keyakinan mereka mengonfirmasi hal itu. Tetapi kelak di kemudian hari, ketika mereka harus terlibat dalam suatu perbedaan pendapat, mereka mulai ragu akan cinta yang dahulu mereka yakini. Keluarga - keluarga dan pasangan - pasangan mulai retak sehingga muncullah suatu perkataan yang cukup populer, "Kamu tidak seperti dahulu lagi."
Apakah ini benar cinta?

Tidak, ini sama sekali bukan cinta. "Cinta" yang banyak orang maksudkan seringkali hanya berupa hasrat sesaat, terutama akan penampilan fisik dan eksotisme sesaat. Cinta ini didasarkan pada penilaian sepenggal, tanpa melihat aspek-aspek yang lain. Cinta ini tidak didasarkan pada pengurbanan yang tulus. Cinta ini tidak didasarkan pada matiraga yang menyeluruh, penerimaan pasangan dengan seutuhnya, baik dan buruknya. Cinta tidak bisa dikecap begitu saja untuk pertama kali dan diyakini bahwa memang itulah cinta. Cinta perlu tumbuh, berakar, berbuah, dan yang paling penting ditempa. Lewat berpuasa dan berpantang, kita juga diajak untuk menempa cinta kita kepada Kristus melalui sesama. Cinta yang penuh pengurbanan kelak akan berbuah dalam kehidupan. 

Apakah buah cinta?
Keharmonisan, kasih sayang, pengertian, penerimaan apa adanya, bakti sejati, kemurahan hati, pengurbanan, keikhlasan, pengampunan, dan masih banyak yang lainnya.

Pertanyaannya sekarang bagi kita ialah: maukah kita berbagi waktu untuk bersedekah dan berpuasa? Maukah kita menyediakan waktu untuk hidup menempa dan ditempa dalam cinta? Maukah kita berkurban bukan untuk diri kita, tetapi untuk Tuhan dan sesama?
Jawabannya terletak di hati sanubari kita masing - masing.


Di akhir tulisan ini, saya juga ingin menyampaikan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa bagi saudara-saudariku umat Islam. Kiranya Tuhan menyampaikan rahmat kepada Anda semua dalam cinta dan kiranya Anda sekalian menjadi saksi cinta Tuhan di dunia.

Amin.
Totus Tuus
Unknown Totus Tuus Maria

Tuhan beserta Anda sekalian.

Sabtu, 13 Juni 2015

Lagu atau Madah?


Misa Kudus bukan hanya ajang selebrasi, perayaan, atau kemeriahan semata. Misa Kudus adalah pertama - tama kurban dan persembahan. Setiap orang yang hadir dalam Misa Kudus mengambil bagian dalam Kurban Misa dengan lebih dahulu mempersembahkan dirinya sendiri. Banyak umat beriman Katolik seringkali lalai dalam pengertian ini dan memilih untuk menganggap Misa Kudus sebagai perayaan (meriah) semata. Masing-masing individu umat pun memiliki interpretasi sendiri akan Misa yang 'sepantasnya,' namun seringkali yang menjadi acuan adalah 'semeriah' apa suatu Misa.


Tanpa kita sadari, tolok ukur Misa ditentukan oleh semeriah apa situasi selama Misa berlangsung. Banyak yang kita bisa jadikan contoh. Beberapa umat cenderung menghadiri Misa Kudus karena ia merasa situasi Misa lebih meriah karena lagu-lagu yang dibawakan bagus. Dari segi manusia sendiri, hal ini tidak dapat disalahkan. Tetapi, mari kembali kita mengingat bahwa Kurban Misa bukan semata-mata diperuntukkan bagi manusia belaka, tetapi juga ada aspek vertikal dari Kurban Misa itu sendiri.

Cara yang paling sederhana memahami Kurban Misa adalah analogi salib. Kurban Misa dipersembahkan untuk menghaturkan pujian kepada Allah atas segala rahmat dan kasih-Nya (aspek vertikal). Di waktu yang sama, Kurban Misa juga dipersembahkan sebagai harapan persatuan antarumat (aspek horizontal). Oleh karena itu, setiap unsur dalam Misa Kudus maupun Misa Kudus secara penuh harus melambangkan kedua unsur ini. Umat bisa saja merasa nyaman dengan nyanyian -nyanyian yang dibawakan dalam Misa. Tentu saja hal ini baik, terutama jika ditinjau hanya dari bagaimana kita membuat umat betah datang ke gereja. Namun, jika pertanyaannya adalah: apakah Misa Kudus sebatas enak tidaknya suatu nyanyian? 
Bagaimana tanggapan kita?

Tentu makna Kurban Misa jauh lebih dalam, tinggi, dan ilahi lagi dari sekadar enak tidaknya suatu nyanyian. Apabila Anda memperhatikan dengan seksama Doa Syukur Agung pada Misa, imam mendoakan bahwa kiranya Tuhan menerima persembahan (Kurban Paskah) yang dipersembahkan seluruh Gereja, dalam persatuan dengan Bapa Suci, Uskup (lokal), para uskup, imam, diakon, dan para pelayan Sabda-Nya.
Kurban Misa memang sejatinya adalah kurban yang dipersembahkan seluruh Gereja, bukan hanya perorangan dengan minat dan selera masing-masing. Terlebih lagi, Gereja juga memohonkan rahmat persatuan (communio) yang diperoleh dengan rahmat Komuni Kudus. Kedua hal ini menekankan pada satu esensi Kurban Misa: Kurban Misa bukanlah perihal individual, tetapi sebagai suatu persatuan umat dengan Kristus sebagai kepalanya dan senantiasa membaktikan diri demi terlaksananya kehendak Allah.

Nyanyian sebagai salah satu aspek Kurban Misa juga hendaknya hidup dan didasarkan pada esensi ini serta ideologi salib. Kurban Misa tidak diukur dari enak tidaknya suatu nyanyian, tetapi bagaimana kita membalas cinta Allah dalam diri kita, hidup kita, sesama, dan lingkungan kita. Oleh karena itu, Gereja Katolik senantiasa menekankan dalam hal nyanyian yang digunakan selama Misa Kudus, untuk pertama-tama memusatkan diri pada hal-hal yang disampaikan melalui nyanyian tersebut. Di sini akan lebih mudah kita pahami maknanya apabila kita menggunakan kata 'madah' dibandingkan 'nyanyian.'

Ditinjau dari rasa kata, madah lebih menekankan pada isi yang disampaikan, sementara 'nyanyian' seringkali menonjolkan rasa dan irama. Ketika umat menjadi lebih mementingkan enak tidaknya suatu nyanyian didengar, maka pada saat itu juga umat kehilangan makna dari Ekaristi itu sendiri. Hal ini karena umat lebih mementingkan aspek diri sendiri (ego) jauh lebih besar dibandingkan persatuan dengan sesamanya dan Tuhan sendiri. Jika kita dengan lebih rinci menelisik madah-madah yang lahir sepanjang tradisi Gereja dan yang disarankan oleh Gereja, maka tidak kita jumpai adanya kata 'aku,' melainkan kata 'kami,' Hal ini memiliki alasan tersendiri. Gereja menghendaki agar setiap umat yang hadir dalam Kurban Misa mempersembahkan terlebih dahulu dirinya dengan membuang rasa ego dan menyatu dengan seluruh umat dalam memberikan persembahan mereka kepada Allah. Jika belakangan ini banyak lagu-lagu dengan kata 'aku' yang muncul di Gereja, maka sudah tentu ini akan mengurangi makna dari persekutuan Ekaristis itu sendiri.

Terkadang umat lalai dan acuh tak acuh karena menganggap madah (mari kita biasakan menyebut segala lagu dalam Misa sebagai Madah, bukan nyanyian) bukan hal penting dalam kehidupan mereka secara umum dan secara khusus keberlangsungan Misa sendiri. Ini merupakan kesalahan fatal. Seluruh jiwa dan raga kita diciptakan untuk memuji Tuhan dan ketidakacuhan kita kepada salah satunya merupakan titik awal ketidakacuhan kita pada Tuhan dan sesama.


Semoga tulisan kali ini memberikan kita sesuatu untuk dipelajari.
Terimakasih.
Unknown Totus Tuus Maria

Tuhan beserta Anda sekalian.

Kamis, 11 Juni 2015

Nyanyian, Bentuk Partisipasi dan Bakti Sejati Umat dalam Merayakan Iman


Nyanyian sebagai partisipasi dan bakti sejati umat dalam Misa Kudus sebenarnya cukup mengusik
saya selama beberapa tahun terakhir ini. Sebelumnya, sebagai seorang yang cukup terbiasa ikut aktif mengambil bagian dalam Kurban Misa, menyanyikan madah-madah dalam Misa cukup menjadi hal yang biasa dalam hidup saya (untuk alasan saya memilih menggunakan istilah 'madah' dibandingkan 'lagu,' dapat Anda lihat disini'). Namun, setelah berpindah tempat tinggal ke daerah yang sebelumnya sama sekali baru bagi saya, saya mendapati suatu kenyataan: umat tidak terbiasa menyanyi dalam Perayaan Ekaristi. Awalnya saya menduga hal ini terjadi pada lingkup terbatas saja dalam tingkatan yang rendah, namun nyatanya setelah beberapa kali mengikuti Perayaan Ekaristi di berbagai gereja, sekali lagi saya terhenyak dengan kenyataan bahwa ini telah menjadi suatu hal yang lumrah di paroki-paroki.

Turut bernyanyi adalah bentuk perwujudan iman dalam Misa
Ragam alasan disampaikan berbagai pihak ketika saya mencoba menelisik perihal latar belakang keengganan umat untuk berpartisipasi dalam bernyanyi dalam Perayaan Ekaristi. Adapun alasan - alasan yang cukup jamak antara lain:
1. Lagunya kurang akrab di telinga
2. Suara saya tidak bagus
3. Saya kurang percaya diri ketika bernyanyi
3. Paduan suara sudah cukup untuk 'tugas' ini
4. Saya mau bernyanyi, tetapi karena suara dari paduan suara kurang terdengar, saya jadi enggan      
    bernyanyi
5. Saya tidak terbiasa bernyanyi

Masih banyak sebenarnya alasan-alasan yang dikemukakan orang terkait hal ini. Namun saya yakin kelima alasan di atas cukup mewakili. Kini, izinkan saya menyatakan pendapat pribadi terkait alasan-alasan tersebut.

Kekurangakraban umat dengan lagu (baik satu, beberapa, atau bahkan 'semua' lagu) tampaknya menjadi alasan yang paling jamak. Terlepas dari alasan-alasan pendukung apapun yang mungkin dikemukakan (terkecuali alasan-alasan yang secara fisik, psikis, mental, atau emosional menghalangi pelakunya untuk melakukan hal tersebut), kondisi kurang akrab sendiri nyatanya mampu diatasi asalkan ada keinginan untuk memperbaiki atau melangkah ke depan.
Analoginya cukup sederhana: ketika kita menyadari kita kurang akrab dengan seseorang, naluri alamiah kita akan menggerakkan kita untuk berupaya mencari cara untuk semakin dekat dengan orang tersebut. Manusia dilahirkan dari kebaikan dan untuk kebaikan. Inilah naluri alamiah kita. Pertanyaannya ialah: jika sedemikian rupa halnya yang akan kita lakukan untuk menjadi lebih dekat dengan seseorang, terutama yang kita tertarik, bagaimana seharusnya kita berbuat untuk Tuhan?

Pertanyaan ini selanjutnya, tanpa atau dengan kita sadari, akan merujuk pada pertanyaan: sungguhkah saya percaya akan kehadiran nyata Tuhan dalam Ekaristi?

Ketika seseorang mendapatkan tempat yang istimewa dalam hidup kita, secara naluri kita akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan yang terbaik. Ini wujud cinta kita kepada orang tersebut. Sekarang, mari kita renungkan, jika untuk manusia saja kita rela berbuat bahkan berjuang yang terbaik, maka seharusnya apa yang kita lakukan bagi Tuhan?

Anda mungkin berkata, "Suara saya kurang bagus," atau "Saya kurang percaya diri ketika bernyanyi," atau "Saya tidak terbiasa bernyanyi." Semua alasan ini sebenarnya datang dari dalam diri Anda sendiri atau dengan kata lain, Anda sendirilah yang membuat batasan ini dalam diri Anda sendiri. Saya secara pribadi, juga bukanlah seorang yang dikaruniai suara seindah malaikat. Mendapatkan nada yang tepat pun seringkali saya harus bersusah payah. Namun, ini tidak menghalangi saya untuk bernyanyi. Dalam pikiran saya, saya tanamkan hal ini: Kupersembahkan nyanyian ini kepadamu Tuhan, kurbanku pada hari ini. Inilah diriku. Terimalah ya Tuhan. Saya tahu bahwa kualitas suara saya mungkin tidak sebaik orang lain, tetapi biarlah Tuhan berkenan menerima persembahan saya yang saya haturkan dari kekurangan saya. Tidakkah pernah Anda baca bahwa Tuhan sendiri mengatakan bahwa persembahan seorang janda miskin lebih berharga dari persembahan orang-orang yang memberi dari kelebihan? (bdk Markus 12:43)
Di atas semuanya itu, mari kita merenungkan kembali bahwa Misa Kudus pertama-tama adalah penghadiran Kurban Ekaristi. Kristus telah berkurban bagi kita dengan wafat-Nya di salib dengan seutuhnya. Jika kita mengaku kita adalah umat-Nya, yang menerima anugerah cinta-Nya setiap saat, tidak maukah kita membalas cinta-Nya ini dengan cara yang sederhana? Suara kita adalah awal mula persembahan kita. Mungkin kita tidak punya waktu untuk berbagi dengan sesama atau aktif sebagai petugas liturgi atau tugas-tugas lain yang disarankan Gereja, tetapi itu tidak berarti kita tidak dapat berkurban. Kita berkurban mulai dari hal-hal yang sederhana: persembahan suara kita.

Kiranya alasan ini juga mampu menjawab alasan yang dikemukakan sebagian orang ketika mereka merasa cukup dengan kehadiran petugas paduan suara. Misa Kudus adalah persembahan seluruh Gereja, bukan individual atau kelompok. Kehadiran seseorang atau suatu kelompok dalam Misa tanpa kehadiran dan partisipasi seluruh umat beriman akan menghilangkan makna seluruhnya dari Ekaristi itu sendiri. Terlebih dalam Ekaristi, kita menerima Tuhan sendiri dalam rupa Tubuh (dan Darah) yang Ia karuniakan bagi kita. Karunia Ilahi ini menyatukan kita bukan hanya dengan Kristus, tetapi juga dengan seluruh umat beriman. Kita saling membutuhkan dan kurban kita tidak akan lengkap tanpa kurban bukti cinta seluruh Gereja. Persembahan suara kita turut melambungkan puji dan syukur kita ke hadirat Allah. Kita tidak perlu berpikir tentang hal-hal yang megah, meriah, besar, atau apapun yang lain jika kita menolak untuk mempersembahkan hal-hal kecil dalam hidup kita.

Semoga melalui tulisan ini, kita semakin mendedikasikan hidup kita untuk hidup dalam cinta Tuhan dan melayani sesama.
Amin.

Unknown Totus Tuus Maria

Tuhan beserta Anda sekalian.